Mandat Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Pendanaan Pensiun dan Pesangon

Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja
mengundang polemik. Bak “dua sisi mata uang”. Di satu sisi, pemerintah bertekad
menggenjot pertumbuhan ekonomi sambil menarik investasi asing. Namun di sisi
lain, aturan dan kompensasi pekerja dibuat semakin “kendor”. Sehingga mengancam
kesejahteraan pekerja di Indonesia. Urusan tenaga kerja memang kompleks
sekaligus rumit.
Jadi, apa sebenarnya “pekerjaan rumah”
ketenagakerjaan di Indonesia?
Terlepas dari soal Omnibus Laa RUU Cipta
Lapangan Kerja yang sedang digodok saat ini. Justru “pekerjaan rumah” terbesar
sector tenaga kerja adalah itikad baik atau goodwill pemberi kerja dan pekerja
untuk mendanakan uang pensiun atau pesangon. Karena faktanya, hingga kini tidak
lebih dari 5% dari 120 jutaan pekerja di Indonesia yang mau mendanakan
kebutuhan pensiun atau pesangon pekerjanya.
Intinya, besar-kecilnya uang pensiun atau
pesangon pekerja sebagaimana diatur dalam Omnibus Law sama juga bohong bila
pendanaannya tidak dilakukan. Jadi soal uang pensiun atau pesangon, bukan
terletak pada besar kecilnya. Tapi kemauan untuk mendanakan sejak dini.
Dari sejak tahun 1992, sesuai UU 11/1992
tentang Dana Pensiun, pemberi kerja atau pengusaha seakan belum menyadari
manfaat program pensiun. Begitupun pekerja, seakan sulit menyisihkan sebagian
upahnya untuk masa pensiun. Hingga akhirnya, gagal merencanakan masa pensiun.
Atau kurang paham akan pentingnya
mempersiapkan masa pensiun. Bayangkan, dari sekitar 50 juta pekerja formal dan
70 juta pekerja informal di Indonesia, tidak lebih dari 5% saja yang sudah
mempunyai program pensiun. Sebuah penantian program pensiun yang terlalu lama,
penuh ketidakpastian.
Maka wajar, hari ini 9 dari 10 pekerja di
Indonesia merasa khawatir akan masa pensiunnya. Sebuah cerminan, pekerja yang
tidak siap pensiun. Tidak punya bayangan mau seperti apa di masa pensiun.
Sementara cepat atau lambat, tiap pekerja pasti akan pensiun.
Adalah ironi. Banyak pekerja ingin sejahtera
di masa pensiun. Bahkan begitu giat dan gigih saat bekerja. Pergi pagi pulang
malam. Gigih memperjuangkan gaya hidup. Namun sayang, di saat yang sama, mereka
kurang gigih dalam mempersiapkan masa pensiun. Tidak punya program pensiun.
Hingga akhirnya, tidak punya topangan dana yang cukup untuk masa pensiun.
Maka suka tidak suka, pemberi kerja maupun
pekerja perlu menyadari akan pentingnya mendanakan pensiun atau pesangon sejak
dini, sejak sekarang. Untuk memastikan ketersediaan dana yang cukup untuk
pensiun atau pesangon. Karena jika tidak, maka realitas 7 dari 10 pensiunan di
Indonesia bermasalah secara keuangan akan tetap abadi.
Jadi urusan pensiun atau pesangon, bukan soal
besar kecilnya. Tapi kemauan untuk mendanakan dari sekarang. Dan salah satunya
dapat ditempuh melalui program DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) yang ada di
pasaran. Karena DPLK, memang didedikasikan secara khusus untuk persiapan masa
pensiun bagi pekerja atau pendanaan pesangon bagi pemberi kerja atau pengusaha.
Ada 3 keuntungan mendanakan pensiun atau
pesangon melalui DPLK, yaitu:
1.
Adanya
pendanaan yang pasti saat diperlukan,baik untuk pensiun atau pesangon,
2.
Adanya hasil
investasi yang signifikan selama menjadi peserta DPLK,
3.
Adanya insentif
perpajakan saat uang pensiun dicairkan. Tentu, semuanya ditujukan untuk
kesejahteraan masa pensiun pekerja. Di samping untuk mempertahankan gaya hidup
di saat pekerja tidak bekerja lagi.
Oleh karena itu, pemberi kerja atau pekerja
harus berani dan sadar akan pentingnya mempersiapkan masa pensiun. Dengan menyisihkan
sebagian dana setiap bulannya untuk disetor ke DPLK sebagai tabungan pensiun.
Karena DPLK adalah solusi keuangan bagi pekerja dalam menghadapi masa pensiun;
solusi finansial pemberi kerja dalam pengakhiran masa kerja karyawannya.
Lalu, untuk apa program pensiun?
Tentu, untuk memenuhi kebutuhan biaya dan
gaya hidup di masa pensiun, di saat pekerja tidak bekerja lagi. Karena menurut
kajian, seorang pensiunan dianggap dapat hidup layak di masa pensiun bila
memiliki dana 70%-80% dari gaji terakhir. Itulah yang disebut tingkat
penghasilan pensiun (TPP). Artinya, pekerja ber-gaji terakhir 10 juta maka
membutuhkan 7-8 juta per bulan di masa pensiun.
Agar tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup, di
samping mempertahankan gaya hidupnya. Sementara program wajib seperti JHT
(Jaminan Hari Tua) BP Jamsostek yang iurannya 5,7% per bulan tentu tidak
mencukupi. Hanya mampu meng-cover 13% dari TPP. Maka dapat dipastikan, ada
kekurangan dana untuk bisa mencapai TPP yang layak bagi pekerja.
Bila ada pekerja yang takut akan masa
pensiun, pasti karena mereka tidak punya program pensiun. Bila ada pensiunan
yang tidak bahagia di masa pensiun, pasti karena mereka tidak punya uang yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan bila ada pekerja menyesal di
masa pensiun, pasti karena mereka tidak mau menyisihkan sebagian gajinya untuk
masa pensiun.
Jadi, soal pensiun dan pesangon pekerja bukan
terletak pada besar kecilnya. Tapi pada kemauan untuk mendanakan uang pensiun
atau pesangon pekerja. Sebab bila waktunya tiba, jangan sampai tidak ada dana
untuk membayarkan uang pensiun atau pesangon pekerja.
Pensiun atau pesangon, intinya bukan “gimana nanti” tapi “nanti gimana” #EdukasiPensiun #EdukatorDanaPensiun #AsosiasiDPLK